Issu dan Masalah Pencemaran di Teluk Jakarta
Tuesday, March 1, 2011
, Posted by Jakarta Green City at 5:48 AM
Pencemaran di Teluk Jakarta telah menjadi issu sejak lama. Terdapat informasi bahwa, di perairan Teluk Jakarta sejak tahun 1974 sering terjadi ledakan populasi alga yang disebut red tide. Di Indonesia ada sekitar 20 jenis alga (fitoplankton) yang dapat menyebabkan ikan mati. Di Teluk Jakarta sendiri terdapat 17 jenis yang tergolong beracun dan akan meledak (blooming) bila terjadi pengayaan nutrien di perairan. Nutrien itu berupa fosfat yang berasal dari limbah seperti deterjen dan organik yang dihanyutkan air sungai ke laut.
Harian Kompas edisi Rabu, 8 Agustus 2001 menurunkan berita berjudul “Teluk Jakarta tercemar, nelayan tak bisa melaut” yang disebabkan oleh tercemarnya air laut Teluk Jakarta oleh limbah kimia, yang diduga dibuang oleh pabrik-pabrik pengawetan kayu di sekitar Marunda dan Kalibaru, sehingga air berwarna merah kecoklatan yang menyebabkan ikan, kepiting, udang dan bahkan kerang hijau mati.
Sihotang dan Wibisana (2003) melaporkan pencemaran juga terjadi di sungai Bekasi, sehingga masyarakat tidak dapat memanfaatkan air sungai untuk keperluan domestik, bahkan ikan sapu-sapu yang terkenal mampu bertahan di air kotor dan berlumpur pun tidak dapat bertahan hidup di aliran Sungai Bekasi. Juga disebutkan bahwa potensi penyebab pencemaran sesuai hasil penelitian PPM Bekasi adalah pembuangan limbah pabrik oleh setidaknya 594 perusahaan yang bergerak di bidang produksi makanan, minuman, tekstil, pakaian jadi, kulit, kayu olahan, kertas dan percetakan, termasuk pabrik kimia, minyak bumi, logam industri, logam dasar dan pabrik elektronik. Sebagaimana diketahui Sungai Bekasi adalah salah satu sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
Harian Suara Pembaharuan edisi 28 Juli 2002 memuat tulisan berjudul “Pencemaran di Teluk Jakarta memprihatinkan” yang berisi pernyataan peneliti LON LIPI tentang tingginya kandungan logam berat Pb dalam kerang hijau dan sedimen serta tingginya limbah domestik yang dibuang ke perairan.
Hasil penelitian terhadap kerang hijau yang dibudidayakan di perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta (Akbar, 2002) menunjukkan bahwa kandungan logam berat Zn dan Pb pada kerang hijau telah melebihi batas maksimum dapat dikonsumsi. Pada kerang hijau berbagai ukuran (panjang 2-4,5 cm), kandungan Zn berkisar 47,95 –99,55 g/g dan kandungan Pb berkisar 2,22 – 4,34 g/g bobot tubuh kerang. Menurut Tasmanian Food and Drug Regulation, batas maksimum Zn dapat dikonsumsi adalah 40 g/g, sedangkan menurut WHO, batas maksimum dapat dikonsumsi untuk Pb adalah 2 g/g. Kandungan logam berat Cu dalam kerang hijau tersebut juga tergolong cukup tinggi, yakni berkisar 5,21 – 8,12 g/g. Dari hasil ini terlihat bahwa kandungan logam berat telah terakumulasi dalam jaringan tubuh kerang hijau sedemikian rupa, beberapa kali hingga beberapa puluh kali lipat daripada yang terkandung di perairan.
Mengenai kasus kematian ikan yang terjadi di Teluk Jakarta tidak lama berselang, harian Tempo edisi 27 Mei 2004 memberitakan pernyataan pemerintah melalui konferensi pers tanggal 21 Mei 2004 bahwa penyebab terjadinya kematian massal ikan di Teluk Jakarta adalah akibat blooming dari fitoplankton sehingga terjadi penurunan oksigen yang menyebabkan ikan-ikan mati kekurangan oksigen. Dalam tulisan yang sama juga disajikan hasil pengamatan Tim PKSPL-IPB menunjukkan hasil yang berbeda. Menurut kajian TIM PKSPL-IPB tidak terlihat adanya indikasi blooming fitoplankton pada saat kematian massal ikan terjadi. Selanjutnya juga disampaikan bahwa kandungan logam berat Pb, Cd, Cu dan Hg pada sampel air dekat dasar perairan (sekitar Ancol dan Dadap) memang relatif tinggi atau telah melebihi baku mutu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/2004, tetapi masih dalam kadar yang tidak sampai mematikan ikan secara massal, kecuali pada saat kejadian (tanggal 8-9 Mei 2004) terjadi peningkatan konsentrasi logam berat dan limbah B3 lainnya yang sangat tinggi di perairan.
Harian Republika edisi 25 Mei 2004 juga menurunkan berita berjudul “Dampak Pencemaran Teluk Jakarta” yang antara lain berisi tingkat kandungan pestisida yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT (melebihi ambang batas yang diperbolehkan sebesar 0,5 ppb).
Salah satu berita harian Kompas edisi 4 Juni 2004 adalah mengenai ribuan meter kubik sampah dibuang ke laut. Mengutip pendapat Asisten Deputi Ekosistem Pesisir Laut KLH, disebutkan bahwa sekitar 1500 m sampah Jakarta per hari masuk ke Teluk Jakarta melalui sungai. Juga disebutkan bahwa 80% pencemaran laut bersumber dari limbah domestik, hanya 20% yang bersumber dari industri. Sementara itu hasil penelitian BPLHD (biro lingkungan hidup daerah) Jakarta juga menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh 13 sungai yang bermuara di pesisir Teluk Jakarta.
Harian Kompas edisi 20 Juli 2004 justru menurunkan salah satu berita yang bertajuk “Industri Pencemar Utama di Teluk Jakarta” yang didasarkan atas hasil penelitian Indo Repro-Indonesia. Sumber pencemar dari industri antara lain adalah logam berat, POP (Persistent Organic Pollutant) dan hidrokarbon (minyak). Juga disebutkan bahwa sejak tahun 1987, Teluk Jakarta telah tercemar limbah dari sekitar 800 industri yang berada di pinggir pantai, hanya 10 persen yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Dalam salah satu berita harian Kompas edisi 8 September 2004 di bawah judul “Deformasi Kerang Hijau” disebutkan adanya hasil penelitian Sudaryanto dan koleganya dari Ehime University, Jepang, yang menyebutkan kandungan tributiltin (TBT) yang tinggi pada daging kerang yang dikumpulkan dari Muara Kamal, Cilincing dan Ancol, masing-masing dengan kadar 13,38 dan 37 ng/g daging kering. Sedangkan beberapa peneliti dari LON LIPI menemukan kandungan TBT di kolom air laut sebesar 2-15 ng/l, dan dalam sedimen sebesar 119-506 ng/l. Data tersebut menunjukkan kandungan TBT di Teluk Jakarta yang sudah sangat tinggi karena baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika terhadap kandungan TBT di dalam jaringan tubuh biota laut tidak boleh lebih dari 10 ng/g daging kering.
Dari manapun asalnya pencemaran, bahan-bahan itu berdampak negatif terhadap biota perairan yang tercemar dan lingkungannya. Bila laut tercemar, tentu nelayan tidak dapat melaut sehingga rantai tata niaga hasil perairan terputus. Nelayan tidak mendapatkan pendapatan dan konsumen tidak mendapatkan ikan. Ikan atau hasil perairan lainnya yang ditemukan dari perairan tercemar tidak lagi dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Keadaan ini akan sangat merugikan dan juga akan berdampak pada masyarakat di wilayah pesisir. Sebagaimana yang terjadi beberapa saat yang lalu dimana terjadi kematian ikan secara massal di Teluk Jakarta. Keadaan ini menyebabkan pelaku-pelaku ekonomi dalam kegiatan perikanan yaitu nelayan penjual ikan, pengusaha budidaya kerang dan karamba menjadi gundah. Disamping itu warga Jakarta dan sekitarnya takut memakan ikan sehingga berdampak negatif bagi banyak restoran penyaji ikan bakar dan sea food di wilayah ibu kota.
Disalin dari :
PENCEMARAN PERAIRAN TELUK JAKARTA DAN
STRATEGI PENANGGULANGANNYA
Makalah Kelompok 1, Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana IPB
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Oktober 2004
Currently have 0 comments: